Washington Consensus, Post Washington Consensus dan Pengaruhnya Di Indonesia (oleh: Muh. Ashry Sallatu)

Washington Consensus
Pada waktu terjadinya krisis global akibat Perang Dunia II, model/konsep pembangunan mengalami transformasi. Konsep yang sebelumnya adalah suatu model pembangunan yang menekankan pentingnya intervensi negara dalam pengelolaan perekonomian. Namun model ini kemudian dipertanyaakan kembali karena dianggap sebagai salah satu penyebab pecahnya perang. Asumsi yang berkembang pada waktu itu adalah perang pecah akibat kuatnya negara mengatur ekonomi, akibatnya hubungan internasional diwarnai oleh konflik karena masing-masing negara mempertahankan kepentingan nasionalnya diatas kepentingan nasional negara lain.
Dari sini pemikir klasik mencoba untuk muncul dan mengajukan suatu bentuk atau model pembangunan lain. Model yang diajukan ini sebenarnya bukanlah model baru tetapi masih menggunakan model lama yaitu ala ekonomi klasik tetapi diberi nama baru yaitu neo-klasik, yang kemudian lebih dikenal dengan neo-liberalisme. Neo-liberalisme ini mendorong suatu asumsi bahwa negara tidak dapat lagi melakukan intervensi terhadap pasar karena akan menyebabkan distorsi terhadap pasar. Pasar harus independen dari engara agar fungsi pasar dapat berjalan. Seperti yang dikatakan oleh Yujiro Hayami, “the market as a universally efficient mechanism for allocating scarce resources and promoting economic growth”. Cara berpikir inilah yang kemudian diadopsi dan ingin dipertegas lagi oleh washington concensus
Washington consensus pada dasarnya adalah suatu pelembagaan paradigma atau pemikiran neoliberal. Untuk membantu atau mengakselerasi penyebaran teori ini, maka diperlukan suatu pelembagaan yang cukup solid.
Dari aspek konseptual, neoliberal ini menekankan pentingnya pasar yang independen atau the rule of market. Artinya bahwa para pemain atau aktor dalam pasar harus dibebaskan dari seperangkat aturan yang membatasinya untuk mencapai tujuan-tujuan idealnya yaitu capital accumulation. Semua negara harus menerapkan kebijakan ekonomi yang terintegrasi secara penuh pada pasar internasional. lugasnya dapat dikatakan adalah bebasnya modal, barang dan jasa dari hambatan regulasi, untuk itu bentuk kebijakan yang didorong adalah deregulasi.
Negara yang menerapkan model kebijakan ala neoliberal ini harus memotong belanja publik untuk pelayanan sosial bagi masyarakatnya. Belanja publik ini misalnya pendidikan dan kesehatan. Hal ini penting untuk dilakukan karena belanja publik adalah satu bentuk inefisiensi anggaran belanja. Untuk itu privatisasi adalah model kebijakan yang tepat. Perusahaan negara yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik harus diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Sekali lagi untuk efisiensi agar negara sudah tidak perlu lagi mengeluarkan pembiayaan untuk itu. Diatas dari hal yang teknis ini, kebijakan ini ingin mengeliminasi konsep tentang “public goods” yang ada dalam masyarakat.
Hegemoni Neoliberal
Untuk mendukung penyebaran teori ini, yang berisisi oleh tiga pilar kebijakan yaitu liberalisasi, deregulasi dan privatisasi, maka diperlukan satu pelembagaan. Washington consensus ada untuk keperluan ini. Washington consensus kemudian menelorkan tiga lembaga pada tingkat internasional yaitu; International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan World Trade Organization (WTO).
Masa sekarang ini dapat dikatakan sebagai era dimana dunia berada dalam cengkraman neoliberalisme. Salah satu indikator yang dapat diangkat disini adalah apa yang terjadi di Mexico. Pada tahun 1980 Mexico mengalami krisis nasional. Krisis tersebut dikenal dengan tequila crisis. Terjadi inflasi yang tinggi, stagnasi ekonomi dan utang internasional yang terus menumpuk. Untuk mengatasi hal ini pemerintah Mexico mengambil kebijakan fiskal yang ketat, liberalisasi perdagangan dan modal. Di Indonesia sendiri dapat dilihat indikator-indikator untuk menilai kuatnya penerapan kebijakan ala washington consensus.
Privatisasi dilakukan oleh pemerintah dengan menjual PT. Indosat, Tbk ke perusahaan milik pemerintah Singapura, kemudian terjadi privatisasi pada Pertamina. Di Jakarta sendiri, ibukota negara, terjadi privatisasi perusahaan air minum atau pada PAM Jaya yang direkomendasikan oleh Bank Dunia. Dalam perkembangannya sampai sekarang banyak mendapatkan kecaman dari masyarakat karena buruknya pelayanan air. Tujuan dari privatisasi ini adalah untuk meringankan beban utang pemerintah. Pemerintah dengan cepat memberikan respons dengan keluarnya inpres 12 Juni 1994. Harga air yang ditetapkan melebihi harga air PAM Jaya per kubiknya.
Naiknya harga BBM karena pemerintah mencabut subsidi tidak saja dapat dilihat sebagai keharusan pemerintah karena harga minyak dunia yang naik, tetapi juga dapat dilihat sebagai suatu langkah awal perwujudan liberalisasi ekonomi yang lebih jauh (Revrisond Baswir, 2005). Dengan kondisi yang masih rentan terhadap krisis ekonomi, pemerintah Indonesia justru melakukan liberalisasi sektor finansial yang berakibat mundurnya perkembangan ekonomi di sektor riil. Yang terbentuk kemudian hanyalah casino capitalism (Susan Strange, 1997).
Post-Washington Consensus
Dalam perkembangan ekspansi pemikiran neoliberal, terjadi krisis global yang menyebabkan beberapa negara, terutama negara-negara berkembang di Asia, mengalami krisis ekonomi. Asumsi-asumsi dasar dari washington consensus kembali dikritisi atau dipertanyakan. Beberapa pengamat dan ahli ekonomi yang secara pemikiran berseberangan dengan washington consensus kemudian muncul mengkritisi serta mengajukan pemikiran-pemikiran alternatif dari neoliberal. Beberapa ahli yang bisa kita ketahui adalah Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sach. Mereka ini kemudian disebut-sebut sebagai pemikir post-washington consensus.
Asumsi dasar dari para ahli ini adalah bahwa terdapat ketidaksempurnaan pasar. Ketidaksempurnaan ini adalah akibat dari informasi yang tidak simetris antara para aktor yang bermain dalam pasar. Untuk itu pemerintah bertugas untuk melakukan intervensi dalam rangka menyempurnakan pasar. Hal-hal yang tidak dapat dijalankan oleh pasar harus diisi oleh pemerintah.
Kritik terhadap washington consensus adalah bahwa resep yang diusungnya yaitu good governance tidak dapat dianggap sebagai obat jenerik yang mampu mengobati segala masalah yang terjadi disemua negara. Washington consensus dianggap terlalu deterministik dalam upayanya untuk pemulihan negara-negara yang mengalami krisis. Fenomena yang terjadi di negara-negara Afrika, dimana sacara good governance cukup baik, tetapi tidak mencapai kemajuan ekonomi yang signifikan. Dalam pemikiran post-washington consensus penekanan pada aspek pengalaman empiris masing-masing negara perlu untuk dijadikan pertimbangan utama.
Post-washington consensus kemudian juga mengkritik kebijakan reformasi ekonomi ke arah pasar yang dilakukan secara drastis. Hal ini karena reformasi ekonomi ke arah pasar akan menyebabkan aliran modal yang sangat besar masuk ke dalam satu negara. Sementara itu semakin besar modal yang masuk maka semakin tinggi teknologi yang ada, sementara disisi lain masih banyak tenaga kerja yang unskilled akan termarjinalkan dengan itu.
Pemikiran kaum post-washington consensus ini sangat dekat dengan teori yang dikembangkan oleh John Maynard Keynes yaitu penekanan pada state rule pada kebijakan ekonomi; kebijakan ekonomi yang mengedepankan full employment dan pertumbuhan ekonomi yang diorientasikan pada pemerataan. Jika washington consensus menganggap bahwa orang jatuh miskin adalah mereka yang kalah dalam kompetisi karena tidak efisien maka kaum post-washington consensus justru menganggap bahwa tugas pemerintahlah untuk mengupayakan bagaimana dimasa depan dengan pembangunan masyarakat miskin bisa mendapatkan posisi sosial yang lebih baik, misalnya dalam mewujudkan capaian-capaian Millenium Development Goals (MDG’s) yang dirumuskan pada tahun 2000.
Pengaruhnya terhadap Indonesia
Perdebatan dua aliran pemikiran diatas bisa dikatakan memberikan pengaruh terhadap banyak negara termasuk Indonesia. Krisis yang berkepanjangan yang terjadi pada Indonesia selama hampir satu dekade ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran diatas pada tingkat internasional.
Pada kenyataannya, Indoesia yang terjerat dalam debt trap direkomendasikan oleh IMF untuk melakukan resep-resep kebijakan ala washington consensus yaitu privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Semua ini justru dijadikan obat bagi pemulihan dari krisis yang dihadapi. Namun obat ini malah semakin membuat krisis menjadi semakin parah. Penjualan BUMN yang direkomendasikan dilakukan oleh pemerintah yang mengakibatkan masyarakat yang jatuh miskin karena krisis semakin terpuruk karena aksesnya menjadi semakin tertutup terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Karena ketika masyarakat membutuhkan negara untuk menyelamatkan mereka negara justru melepaskan tangan dan menyerahkan tanggung jawabnya ke pihak private yang motif utamanya bukan full employment tetapi full profit. Negara dan masyarakat bukan tidak mungkin akan menjadi tawanan para pemodal asing (Herry B. Priyono, 2006).
Kebijakan untuk meliberalisasi sektor migas yang diawali dengan pencabutan subsidi BBM adalah satu bentuk model kebijakan yang diinjeksikan oleh pemikiran washington consensus melalui perjanjian IMF dengan pemerintah Indonesia. Dengan alasan efisiensi anggaran dan untuk menutupi defisit anggaran maka pemerintah harus mencabut subsidi BBM yang menyebabkan naiknya harga-harga termasuk harga kebutuhan pokok yang berimplikasi pada naiknya angka kemiskinan.
Kebijakan pemerintah untuk mengatasi defisit anggaran dengan jalan menambah utang luar negeri juga adalah kebijakan yang sangat relevan dengan dengan pemikiran washington consensus yaitu integrasi ekonomi nasional ke pasar internasional yang terepresentasikan oleh IMF dan Bank Dunia. Kembali lagi, kebijakan ini hanya membuat ketergantungan yang akut rakyat Indonesia akan nasibnya ditangan segelintir elit yang ada pada institusi tersebut. Institusi yang dipromosikan oleh kaum washington consensus sebagai the world government yang mengusung demokratisasi tetapi ironisnya elit ini tidak pernah dipilih melalui mekanisme pemilihan yang demokratis oleh masyarakat miskin yang ada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di Indonesia juga banyak pengamat dan para ahli yang mengkritisi pemikiran washington consensus dan memiliki pemikiran yang lebih condong pada pemikiran post washington consensus. Tetapi kekuatan aliran pemikiran ini di Indonesia belum terlalu kuat untuk mendorong suatu kebijakan ekonomi secara makro yang lebih kearah kebijakan keynesian. Belum bisa disimpulkan secara pasti apakah kelompok ini memang mengadopsi pemikiran tokoh-tokoh post washington yang disebutkan diatas, namun memang terdapat kemiripan. Ataukah kehadiran pemikiran alternatif dari neoliberal ini karena ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat pro-pasar. Wallahualam.
* Penulis adalah Mahasiswa pada Program Pasca Sarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia