Kakatuadua

rumah yang sekarang lebih banyak kamar dari orangnya ini masih kokoh berdiri dan selalu siap menerima tamu. menyediakan atap, berkarat tapi masih bertahan, demi menaungi manusianya. tempat yang saya sebut "terminal pengetahuan". setidaknya dulu begitu. banyak orang yang pernah datang mulai dari teman-teman bapak saya yang gemar berdiskusi, dan dilanjutkan oleh anak-anaknya dengan teman yang beragam. dengan satu keinginan sederhana; "memahami agar tidak hilang dalam arus sejarah". masuk ki,,,!

Friday, December 08, 2006

Washington Consensus, Post Washington Consensus dan Pengaruhnya Di Indonesia (oleh: Muh. Ashry Sallatu)


Washington Consensus

Pada waktu terjadinya krisis global akibat Perang Dunia II, model/konsep pembangunan mengalami transformasi. Konsep yang sebelumnya adalah suatu model pembangunan yang menekankan pentingnya intervensi negara dalam pengelolaan perekonomian. Namun model ini kemudian dipertanyaakan kembali karena dianggap sebagai salah satu penyebab pecahnya perang. Asumsi yang berkembang pada waktu itu adalah perang pecah akibat kuatnya negara mengatur ekonomi, akibatnya hubungan internasional diwarnai oleh konflik karena masing-masing negara mempertahankan kepentingan nasionalnya diatas kepentingan nasional negara lain.

Dari sini pemikir klasik mencoba untuk muncul dan mengajukan suatu bentuk atau model pembangunan lain. Model yang diajukan ini sebenarnya bukanlah model baru tetapi masih menggunakan model lama yaitu ala ekonomi klasik tetapi diberi nama baru yaitu neo-klasik, yang kemudian lebih dikenal dengan neo-liberalisme. Neo-liberalisme ini mendorong suatu asumsi bahwa negara tidak dapat lagi melakukan intervensi terhadap pasar karena akan menyebabkan distorsi terhadap pasar. Pasar harus independen dari engara agar fungsi pasar dapat berjalan. Seperti yang dikatakan oleh Yujiro Hayami, “the market as a universally efficient mechanism for allocating scarce resources and promoting economic growth”. Cara berpikir inilah yang kemudian diadopsi dan ingin dipertegas lagi oleh washington concensus

Washington consensus pada dasarnya adalah suatu pelembagaan paradigma atau pemikiran neoliberal. Untuk membantu atau mengakselerasi penyebaran teori ini, maka diperlukan suatu pelembagaan yang cukup solid.

Dari aspek konseptual, neoliberal ini menekankan pentingnya pasar yang independen atau the rule of market. Artinya bahwa para pemain atau aktor dalam pasar harus dibebaskan dari seperangkat aturan yang membatasinya untuk mencapai tujuan-tujuan idealnya yaitu capital accumulation. Semua negara harus menerapkan kebijakan ekonomi yang terintegrasi secara penuh pada pasar internasional. lugasnya dapat dikatakan adalah bebasnya modal, barang dan jasa dari hambatan regulasi, untuk itu bentuk kebijakan yang didorong adalah deregulasi.

Negara yang menerapkan model kebijakan ala neoliberal ini harus memotong belanja publik untuk pelayanan sosial bagi masyarakatnya. Belanja publik ini misalnya pendidikan dan kesehatan. Hal ini penting untuk dilakukan karena belanja publik adalah satu bentuk inefisiensi anggaran belanja. Untuk itu privatisasi adalah model kebijakan yang tepat. Perusahaan negara yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan publik harus diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Sekali lagi untuk efisiensi agar negara sudah tidak perlu lagi mengeluarkan pembiayaan untuk itu. Diatas dari hal yang teknis ini, kebijakan ini ingin mengeliminasi konsep tentang “public goods” yang ada dalam masyarakat.

Hegemoni Neoliberal

Untuk mendukung penyebaran teori ini, yang berisisi oleh tiga pilar kebijakan yaitu liberalisasi, deregulasi dan privatisasi, maka diperlukan satu pelembagaan. Washington consensus ada untuk keperluan ini. Washington consensus kemudian menelorkan tiga lembaga pada tingkat internasional yaitu; International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB) dan World Trade Organization (WTO).

Masa sekarang ini dapat dikatakan sebagai era dimana dunia berada dalam cengkraman neoliberalisme. Salah satu indikator yang dapat diangkat disini adalah apa yang terjadi di Mexico. Pada tahun 1980 Mexico mengalami krisis nasional. Krisis tersebut dikenal dengan tequila crisis. Terjadi inflasi yang tinggi, stagnasi ekonomi dan utang internasional yang terus menumpuk. Untuk mengatasi hal ini pemerintah Mexico mengambil kebijakan fiskal yang ketat, liberalisasi perdagangan dan modal. Di Indonesia sendiri dapat dilihat indikator-indikator untuk menilai kuatnya penerapan kebijakan ala washington consensus.

Privatisasi dilakukan oleh pemerintah dengan menjual PT. Indosat, Tbk ke perusahaan milik pemerintah Singapura, kemudian terjadi privatisasi pada Pertamina. Di Jakarta sendiri, ibukota negara, terjadi privatisasi perusahaan air minum atau pada PAM Jaya yang direkomendasikan oleh Bank Dunia. Dalam perkembangannya sampai sekarang banyak mendapatkan kecaman dari masyarakat karena buruknya pelayanan air. Tujuan dari privatisasi ini adalah untuk meringankan beban utang pemerintah. Pemerintah dengan cepat memberikan respons dengan keluarnya inpres 12 Juni 1994. Harga air yang ditetapkan melebihi harga air PAM Jaya per kubiknya.

Naiknya harga BBM karena pemerintah mencabut subsidi tidak saja dapat dilihat sebagai keharusan pemerintah karena harga minyak dunia yang naik, tetapi juga dapat dilihat sebagai suatu langkah awal perwujudan liberalisasi ekonomi yang lebih jauh (Revrisond Baswir, 2005). Dengan kondisi yang masih rentan terhadap krisis ekonomi, pemerintah Indonesia justru melakukan liberalisasi sektor finansial yang berakibat mundurnya perkembangan ekonomi di sektor riil. Yang terbentuk kemudian hanyalah casino capitalism (Susan Strange, 1997).

Post-Washington Consensus

Dalam perkembangan ekspansi pemikiran neoliberal, terjadi krisis global yang menyebabkan beberapa negara, terutama negara-negara berkembang di Asia, mengalami krisis ekonomi. Asumsi-asumsi dasar dari washington consensus kembali dikritisi atau dipertanyakan. Beberapa pengamat dan ahli ekonomi yang secara pemikiran berseberangan dengan washington consensus kemudian muncul mengkritisi serta mengajukan pemikiran-pemikiran alternatif dari neoliberal. Beberapa ahli yang bisa kita ketahui adalah Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sach. Mereka ini kemudian disebut-sebut sebagai pemikir post-washington consensus.

Asumsi dasar dari para ahli ini adalah bahwa terdapat ketidaksempurnaan pasar. Ketidaksempurnaan ini adalah akibat dari informasi yang tidak simetris antara para aktor yang bermain dalam pasar. Untuk itu pemerintah bertugas untuk melakukan intervensi dalam rangka menyempurnakan pasar. Hal-hal yang tidak dapat dijalankan oleh pasar harus diisi oleh pemerintah.

Kritik terhadap washington consensus adalah bahwa resep yang diusungnya yaitu good governance tidak dapat dianggap sebagai obat jenerik yang mampu mengobati segala masalah yang terjadi disemua negara. Washington consensus dianggap terlalu deterministik dalam upayanya untuk pemulihan negara-negara yang mengalami krisis. Fenomena yang terjadi di negara-negara Afrika, dimana sacara good governance cukup baik, tetapi tidak mencapai kemajuan ekonomi yang signifikan. Dalam pemikiran post-washington consensus penekanan pada aspek pengalaman empiris masing-masing negara perlu untuk dijadikan pertimbangan utama.

Post-washington consensus kemudian juga mengkritik kebijakan reformasi ekonomi ke arah pasar yang dilakukan secara drastis. Hal ini karena reformasi ekonomi ke arah pasar akan menyebabkan aliran modal yang sangat besar masuk ke dalam satu negara. Sementara itu semakin besar modal yang masuk maka semakin tinggi teknologi yang ada, sementara disisi lain masih banyak tenaga kerja yang unskilled akan termarjinalkan dengan itu.

Pemikiran kaum post-washington consensus ini sangat dekat dengan teori yang dikembangkan oleh John Maynard Keynes yaitu penekanan pada state rule pada kebijakan ekonomi; kebijakan ekonomi yang mengedepankan full employment dan pertumbuhan ekonomi yang diorientasikan pada pemerataan. Jika washington consensus menganggap bahwa orang jatuh miskin adalah mereka yang kalah dalam kompetisi karena tidak efisien maka kaum post-washington consensus justru menganggap bahwa tugas pemerintahlah untuk mengupayakan bagaimana dimasa depan dengan pembangunan masyarakat miskin bisa mendapatkan posisi sosial yang lebih baik, misalnya dalam mewujudkan capaian-capaian Millenium Development Goals (MDG’s) yang dirumuskan pada tahun 2000.

Pengaruhnya terhadap Indonesia

Perdebatan dua aliran pemikiran diatas bisa dikatakan memberikan pengaruh terhadap banyak negara termasuk Indonesia. Krisis yang berkepanjangan yang terjadi pada Indonesia selama hampir satu dekade ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran diatas pada tingkat internasional.

Pada kenyataannya, Indoesia yang terjerat dalam debt trap direkomendasikan oleh IMF untuk melakukan resep-resep kebijakan ala washington consensus yaitu privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Semua ini justru dijadikan obat bagi pemulihan dari krisis yang dihadapi. Namun obat ini malah semakin membuat krisis menjadi semakin parah. Penjualan BUMN yang direkomendasikan dilakukan oleh pemerintah yang mengakibatkan masyarakat yang jatuh miskin karena krisis semakin terpuruk karena aksesnya menjadi semakin tertutup terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Karena ketika masyarakat membutuhkan negara untuk menyelamatkan mereka negara justru melepaskan tangan dan menyerahkan tanggung jawabnya ke pihak private yang motif utamanya bukan full employment tetapi full profit. Negara dan masyarakat bukan tidak mungkin akan menjadi tawanan para pemodal asing (Herry B. Priyono, 2006).

Kebijakan untuk meliberalisasi sektor migas yang diawali dengan pencabutan subsidi BBM adalah satu bentuk model kebijakan yang diinjeksikan oleh pemikiran washington consensus melalui perjanjian IMF dengan pemerintah Indonesia. Dengan alasan efisiensi anggaran dan untuk menutupi defisit anggaran maka pemerintah harus mencabut subsidi BBM yang menyebabkan naiknya harga-harga termasuk harga kebutuhan pokok yang berimplikasi pada naiknya angka kemiskinan.

Kebijakan pemerintah untuk mengatasi defisit anggaran dengan jalan menambah utang luar negeri juga adalah kebijakan yang sangat relevan dengan dengan pemikiran washington consensus yaitu integrasi ekonomi nasional ke pasar internasional yang terepresentasikan oleh IMF dan Bank Dunia. Kembali lagi, kebijakan ini hanya membuat ketergantungan yang akut rakyat Indonesia akan nasibnya ditangan segelintir elit yang ada pada institusi tersebut. Institusi yang dipromosikan oleh kaum washington consensus sebagai the world government yang mengusung demokratisasi tetapi ironisnya elit ini tidak pernah dipilih melalui mekanisme pemilihan yang demokratis oleh masyarakat miskin yang ada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Di Indonesia juga banyak pengamat dan para ahli yang mengkritisi pemikiran washington consensus dan memiliki pemikiran yang lebih condong pada pemikiran post washington consensus. Tetapi kekuatan aliran pemikiran ini di Indonesia belum terlalu kuat untuk mendorong suatu kebijakan ekonomi secara makro yang lebih kearah kebijakan keynesian. Belum bisa disimpulkan secara pasti apakah kelompok ini memang mengadopsi pemikiran tokoh-tokoh post washington yang disebutkan diatas, namun memang terdapat kemiripan. Ataukah kehadiran pemikiran alternatif dari neoliberal ini karena ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat pro-pasar. Wallahualam.

* Penulis adalah Mahasiswa pada Program Pasca Sarjana Hubungan Internasional Universitas Indonesia

Friday, November 10, 2006

meraih kebahagiaan

" Ambillah butir-butir kebijaksanaan di mana pun ia berada, karena apabila ucapan kebijaksanaan berada di dada seorang munafik, ia menggelepar sampai ia keluar dan bermukim dengan yang lain-lain yang sejenisnya di dada orang mukmin. "
(diambil dari buku "Puncak Kefasihan")

Agama diturunkan oleh Tuhan ke dunia ini pada dasarnya untuk kebahagiaan manusia. Memang Agama juga mengharuskan kita untuk terus berperang melawan kebatilan dan kebodohan, namun berjuang dijalan Tuhan itu tidak berarti kita harus mencampakkan kebahagiaan dunia demi untuk kebahagiaan yang abadi di akhirat nanti. Karena bukankah agama diikuti agar kita bahagia di dunia dan akhirat?

Kebaikan bersama hanya akan terwujud jika kita saling memberikan kebahagiaan. Yang paling mungkin kita lakukan adalah dengan lingkungan terkecil yaitu diri kita sendiri dan keluarga. Bukankah berada dalam keluarga yang bahagia keinginan kita semua? Bukankah menjadi orang bahagia adalah impian setiap orang?

Nabi saw menyuruh kita: “sebarkanlah kebahagiaan di hati orang mukmin”. Disini beliau tidak menyuruh kita untuk membahagiakan orang lain, karena mukmin yang paling dekat dengan kita adalah diri kita sendiri. Kita diingatkan oleh Tuhan paling tidak 5 kali dalam satu hari untuk terus meraih kebahagiaan yaitu lewat muazin; hayya ‘alal falah, jadi kita harus (wajib) bahagia dulu sebelum memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Karena, bisakah kita memberi sesuatu ketika kita tidak memiliki sesuatu itu? Hanya orang yang memiliki yang bisa memberi. Semoga kita semua memiliki.

Buku yang ditulis oleh Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat) yang berjudul “MERAIH KEBAHAGIAAN” mungkin bisa memberikan kita banyak pengetahuan tentang bagaimana meraih kebahagiaan itu dan apa kebahagiaan itu sendiri. Bacalah demi anda, kekasih anda, keluarga anda dan akhirnya umat.

Karena semua tak lain adalah untuk membahagiakan Rasulullah dan Ahlul Baitnya (semoga kita dikumpulkan bersama mereka) dan untuk mendapatkan rida Allah SWT. Semoga Allah mengumpulkan kita bersama orang-orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Semoga...

Silent room, 18 Des 2005

tentang Ramadan....

Setiap bangun sahur, saya selalu berbahagia.
Kulahap makananku dengan mata masih mengantuk
Shalat subuh terasa sangat menyenangkan
Karena dinginnya udara yang terasa karena air wudhu

Kutunggui matahari terbit
Melihatnya betul-betul membuat hati menjadi tenteram
Subhanallah! indah betul pemandangan menjelang pagi itu
Mentari itu tidak ada bedanya dengan terbitnya mentari
Pada hari-hari sebelumnya,
Tetapi terasa sangat berbeda jika dilekatkan namamu padanya.
”Mentari di bulan Ramadhan”
Sungguh engkau adalah berkah dari Tuhanku untuk
Memuliakan segala sesuatu.

Tapi apakah saya cukup beruntung untuk
Mendapatkan kemuliaan itu?
Sampaikan pada Tuhanku yang memuliakanmu wahai Ramadhan
Bahwa aku adalah hambaNYA,
Yang mengakui kebesaran cintaNYA melebihi segala sesuatu.
DIA pasti akan berbuat baik pada hambaNYA yang senjatanya
Hanyalah tangisan keluh kesahnya untuk urusan dirinya sendiri.
DIA tidak akan berpaling kepada hambaNYA yang selalu
Menyebut namaNYA
....ALLAH, ALLAH, ALLAH...
Tidak akan...
DIA maha mendengar
KebaikanNYA diatas segala kebaikan

Betapa Kau memang baik, wahai Ramadhan
Seperti yang Tuhanku katakan, Mulia....
Begitu banyak berkah yang kau berikan
Kepada kami semua, tak terhitung
Setiap detik selalu saja saya melihat kebaikanMu
Dengan mata kepala sendiri

Hanya engkau yang mampu membuatku melakukan kebaikan-kebaikan itu
Karena Tuhan tahu bahwa saya tidak selalu mampu melakukannya
Maka diturunkanlah Engkau
Tuhan selalu merindukan agar saya berbuat baik,
Tapi saya lebih sering mengabaikannya.
Padahal itu semua bukan untuk DIA, tapi untukku
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...
Sungguh Engkaulah Tuhanku, ya Allah...

Sekarang adalah akhir dari Ramadhan untuk tahun ini,
Sudah pasti kerinduan akan datang di hati saya.
Hamba seperti saya andalannya hanya Ramadhan,
Karena Ramadhanlah penolong
Bulan penuh rahmat.
Bulan dimana Imam Ali kw berkata;
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah,
diamnya adalah tasbih memuji Allah,
doanya dikabulkan,
perbuatannya diganjar berlipat ganda,
dan sesungguhnya doa orang yang berpuasa itu tidak akan ditolak Tuhan.”
Subhanallah...!

Jika Ramadhan pergi,
Apa lagi andalan saya untuk memohon kepada Tuhanku?
Ajarkan pada saya cara untuk membuatmu tinggal di hatiku wahai Ramadhan
Sampaikan pada Tuhanku bahwa semua amalan yang kulakukan untuk menghiasiMu
Kulakukan dengan tulus, semata mata karena tidak ingin menjadi orang yang merugi
Kuharap Kau mau mendampingiku ketika aku menghadap Tuhan ku nanti.

Sampaikan salam dan shalawatku kepada
Rasulullah, manusia agung junjunganku
Ahlul BaytNya yang suci, penjaga agamaku
Semoga aku dikumpulkan bersama mereka kelak
Dengan bantuanMu, wahai bulan kecintaan Allah....
Ramadhan....

waktu hari bumi

Where there is injustice,
I always believe in fighting
The question is…do you fight to change
Or do you fight to punish?
(Mahatma Gandhi)




Pagi ini tanggal 22 April 2006 saya ikut aksi Walhi yang merayakan hari bumi internasional. Isunya sudah pasti tentang kepunahan lingkungan alam karena dibiarkannya perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan eksploitasi alam demi untuk keuntungan ekonomi. Aksi dilakukan di depan istana Presiden kemudian di lanjutkan dengan long-march ke Bundaran HI. Beberapa organisasi masyarakat dan mahasiswa tergabung dalam aksi tersebut dengan menamakan diri “Aliansi Penyelamat Bumi”.

Semangat orang-orang yang ikut dalam aksi tersebut sangat terasa bagi kita yang berada disitu. Orasi dilakukan oleh kordinator lapangan dari Walhi dan dilanjutkan secara berturut-turut dari masyarakat biasa (desa dan miskin kota) yang dengan mendengarnya bicara bisa diduga sampai dimana tingkat pendidikannya, tetapi dengan sangat lancar dan lantang menyuarakan perlawanannya terhadap penindasan yang dilakukan oleh negara dan pengusaha yang mengagungkan “libidonomics”-nya. Pada saat itu malu rasanya sebagai seorang kandidat master di perguruan ternama di Indonesia tetapi tidak mengetahui apalagi merasakan penindasan yang nyata-nyata terjadi terhadap masyarakat miskin mayoritas di negeri ini. Memang lebih enak “ber-onani”.

Salah satu pekerjaan utama pemerintah berubah ke arah penjaminan suatu lingkungan yang mendukung untuk pengembangan bisnis, dan ranah yang mampu menyedot aliran modal bisnis. Peranan negara-bangsa kini lebih banyak bergeser menjadi semata-mata menyediakan barang-barang dan infrastruktur publik yang dibutuhkan oleh kehidupan bisnis dengan ongkos semurah-murahnya sambil melindungi sistem perdagangan bebas dunia (Noreena Hertz)
Para peserta aksi tidak hanya terbakar semangat anti penindasan tetapi dengan sangat jelas dan gamblang memberikan gambaran detail mengenai bagaimana bumi tempat kita tinggal sekarang ini tidak diperlakukan dengan semestinya. Bumi menangis tanpa sempat kita dengar tangisannya karena kehidupan sudah kita ciptakan menjadi sangat cepat dan bising. Di beberapa tempat, kita justru tidak bisa lagi mendengar teriakan kita sendiri. Dunia menjadi serba “hyper”.

Perasaan saya seolah bercampur baur; sedih, senang, ngeri, bingung, heran ketika seorang perempuan membacakan puisi bagaimana bumi kita menuju kehancuran total. Semua karena kita sendiri yang mau membebaskan hasrat para pemodal besar menjajah bumi ini, kemudian menjualnya ke kita.

Betulkah bumi ini milik mereka? Siapa yang memberi mereka hak mengklaim bumi ini untuk kemudian mengatakan kepada kita “jika mau menikmatinya, bayar dulu”? mampukah mayoritas rakyat Indonesia membelinya? Kita sudah bukan lagi warganegara, kita tidak lebih dari sekedar konsumen atas bumi kita sendiri. Rumah kita telah dirampok atas nama kebebasan. Semangat saya menjadi terbakar melihat banyaknya peserta aksi pagi ini.

Tetapi, saya merasa semangat saya sempat “tercemari”. Ketika sampai di bundaran HI, sekelompok massa yang jumlahnya beratus kali lipat dari jumlah aliansi kami melakukan aksi penolakan terhadap RUU APP. Tidak hanya dari segi jumlah massa tetapi juga dilengkapi dengan “tools” yang sangat baik. Panggung rakyat, artis-artis ibukota ternama, pameran adat lengkap dengan badut dan atribut adat lainnya dari Aceh sampai Papua.

Di satu sisi saya sangat bangga dengan kondisi saat itu. Ada dua hal. Pertama, makin banyak orang yang sadar akan haknya sebagai warga negara dengan mau turun ke jalan melawan ketidakadilan. Kedua, yang tidak kalah pentingnya, dengan banyaknya jumlah massa yang menolak RUU APP tersebut, ternyata aksi ini juga “dikawal” dengan sejumlah kecil orang, berjalan disamping pawai massa tersebut sambil membagi-bagikan selebaran kepada masyarakat sekitar yang isinya mendukung RUU APP. Dari seragam orang-orang tersebut, dapat dipastikan dari kalangan agama tertentu. Bangga melihat itu semua. Mungkin inilah demokrasi.

Tapi disisi lain sangat susah mempertahankan rasa bangga itu agak lama. Setelah melihat mereka, ternyata jumlah kami yang merayakan hari bumi sangat kecil. Muncul pertanyaan dalam hati saya; tahukah mereka semua bahwa bumi tempat mereka berpijak, dan menari-nari, sekarang sedang sekarat? Tahukah mereka jika bumi ini hancur maka mereka akan ikut hancur pula? Tahukah mereka bahwa suatu saat nanti, mereka akan berteriak “Tolak RUU APP!” atau “Dukung RUU APP!” diselingi dengan batuk-batuk dalam setiap teriakan mereka?

Tapi sudahlah...toh mereka juga punya kesamaan dengan kita; perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan dan keyakinan bahwa ‘a better world is possible’

22 April 2006, 23.30

Monday, October 16, 2006

Voyeurisme Media Kita


VOYEURISME adalah keingintahuan yang telah melorot menjadi obsesi ngintip dan nggosip,
pada lingkup personal maupun sosial. Biasanya ini adalah asal-muasal sekaligus hasil kultus
selebriti yang dirayakan massal. Voyeurisme itu konsumerisme visual. Selebriti adalah obyeknya. Media massa adalah pelatuknya.

Jajak pendapat Kompas (25/8/03) yang menyatakan 77 persen pemirsa menganggap televisi
menekankan komersialisme, konsumerisme, kekerasan, dan eksploitasi erotisme, sekadar
menegaskan keluasan voyeurisme yang dilecut media televisi kita. Seperti biasa, muncul
kontroversi tentang statistik. Padahal, masalahnya bukan kausalitas statistik, tetapi psikoanalitik. Statistik tentu jendela kecil untuk mengenali gejala.

Keluasan gejala

Suatu hari, 14 Mei 2003, saya menyimak acara kuis di salah satu saluran televisi. Begini isinya.Pembawa acara bertanya kepada beberapa kelompok perempuan, "Rano Karno adalah mak
comblang pasangan Lydia Kandau dan Jamal Mirdad, gosip atau fakta?" Lalu pembawa acara
mendatangkan seorang bintang sinetron. Para pengikut kuis ditanya: "dia menikah di bawah usia 21 tahun, gosip atau fakta?" Kemudian, "sebelum terjun ke sinetron, artis ini adalah seorang model, gosip atau fakta?" Dan seterusnya.

Silakan kenali saluran televisi kita, akan ditemui kian banyak acara seperti itu. Gabunglah dengan riuh-rendah acara gosip lain, klenik, celebrity shows, dangdut pada prime time, kita akan dapati apa yang disebut Neil Postman Amusing Ourselves to Death (1985). Namun, lebih jauh, amusement itu telah melorot menjadi voyeurism, bukan lagi hiburan tetapi pengintipan. Mungkin kita menyusun statistik tentang gejala itu, tetapi masih perlu menjawab pertanyaan "mengapa". Soalnya bukan statistik, tetapi psikoanalitik.

Apa yang terjadi pada media televisi kita rupanya sejalan dengan ledakan gejala semacam pada media cetak. Sosoknya tampil dalam berbagai majalah, tabloid, dan koran hiburan. Wajahnya genit, isinya gosip. Seperti apa yang memberondong layar televisi, sekurangnya ada tiga unsur yang menandai voyeurisme massal ini.

Pertama, ia berisi kultus selebriti. Sosoknya disulap genit, kisahnya dibuat bagai dongeng. Isinya wajah-wajah yang sering muncul di sinetron atau panggung nyanyi. Kita merasa ekstase
menonton atau dekat dengan mereka, juga bila hanya di lembar majalah atau layar kaca. Kita
meniru cara dandan, cat rambut, gaya bicara, memburu gambar dan omongan mereka dari hari
ke hari.

Kedua, klise massal itu berisi kultus gaya-hidup. Sosoknya dipasang sebagai ukuran prestise dan status. Kita bagai kawanan yang karena tidak sempat diam, dengan mudah digiring untuk
memburunya. Itulah klise massal yang dipicu media pesolek, propaganda keyakinan bahwa
hidup merupakan salinan iklan. Biasanya kultus gaya hidup ini terbentuk berkombinasi dengan
kultus selebriti.

Ketiga, klise massal itu menyangkut pengeboran basic instinct hasrat dan sensualitas. Jutaan
gambar, gosip, dan simulacra yang terpajang terlihat atau terdengar sebagai informasi. Namun, lebih mungkin sebagai informasi bagi voyeurisme. Atau, voyeurisme itu sendiri. Ia sebentuk narcisisme dengan gerak-gerik selebriti sebagai cermin mengaca.

Ada perbedaan antara hiburan dan voyeurisme, juga bila tidak mudah menetapkan
pembatasnya. Melewati batas itu, media akan terpelanting, bukan lagi media hiburan, tetapi
voyeurisme. Lewat proses ini biasanya media perlahan mundur dari misinya memberi informasi,
mendidik, dan menghibur karena kemudian bergeser menjadi medium voyeurisme. Apa yang
disebut Jay Rosen (1999) sebagai civic journalism perlahan pudar. Yang berkibar voyeuristic
journalism.

Yang terbentuk dari gabungan ketiga klise massal itu adalah apa yang disebut Václav Havel the aesthetics of banality (estetika kedangkalan). Lagi, bisa saja kita kumpulkan statistik tentang gejala itu, tetapi kita masih perlu menembus pertanyaan "mengapa". Dan soalnya bukan statistik, melainkan psikoanalitik.

Kapan gejala itu akan mencapai titik jenuh? Bahkan, dari perhitungan optimistis, proses itu tidak akan mengalami titik jenuh. Mengapa? Di sinilah kita sampai pada soal yang jarang tersentuh dalam jajak pendapat, yaitu psikoanalisa dan ekonomi-politik.

Ekonomi-politik libido

Seperti sering ditunjuk, sistem rating menjadi kunci memahami duduk perkaranya. Tetapi,
statistik rating akhirnya sekadar jendela bagi kita untuk menebak isi gejala. Karena itu, yang dibutuhkan adalah melewati angka dan menembus isi gejala.
Mulailah dari pertanyaan berikut, "mengapa program voyeuristik itu amat laku?" Alkisah, jawaban mainstream akan bilang, "Karena itulah permintaan (demand) khalayak!" Lalu tanyakan lebih lanjut, "Dari mana muasal permintaan itu?" Para penjual program mungkin akan bilang, "Dari selera pemirsa!" Mereka yang sedikit skeptik akan mengajukan pertanyaan mengejar, "Apakah selera pemirsa terbentuk dengan sendirinya?" Pada titik inilah persimpangan jawaban semakin tajam. Bila pertanyaan terakhir itu dijawab "ya", kita akan tertawa tergelak karena kita tahu berondongan program voyeuristik yang makin intensif itu telah menjadi pasokan yang membentuk permintaan.

Maka permintaan bukan terutama dibentuk oleh otonomi selera pemirsa, tetapi oleh pasokan
program yang disajikan media. Dan proses inilah yang lalu membentuk gerak spiral selera
pemirsa pada voyeurisme. Apa yang ditunjuk sistem rating hanya ujung sementara pada puncak
spiral itu, sekian persen pemirsa suka program voyeuristik. Tentu, spiral itu akan bergerak kian menjulang.

Ada pertanyaan yang tetap memburu, apakah benar program-program voyeuristik itu disajikan
untuk menghormati selera pemirsa? Inilah soal paling krusial yang amat jarang dijawab. Rupanya jawabannya tidak terletak pada kajian media, tetapi pada kaitan antara psikoanalisa dan ekonomi-politik. Isinya menyangkut urusan praktis yang bertalian erat dengan masalah
konseptual.

Pertama, urusan praktis. Pemirsa bukanlah tujuan, tetapi tambang emas bagi media massa yang
sedang bergeser menjadi bisnis media. Target utamanya bukan to inform, to educate, dan to
entertain seperti yang dicita-citakan, tetapi bagaimana menciptakan tambang laba dari hasrat
pemirsa/pembaca. Jalan pintasnya adalah masuk memainkan kawasan basic instinct manusia
yang bersifat libidinal. Seperti ditemukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Annual Report 2000-2001, itulah mengapa pada periode lima tahun terakhir makin banyak kelompok bisnis berbondong masuk ke bisnis media.

Sebagaimana kita belajar dari psikoanalisa, tidak ada batas pada libido manusia. Ia laksana
sumur tanpa dasar. Inilah kawasan sensous dan desirous kita yang terus-menerus digali serta
dimainkan dalam proses komersialisasi. Seperti kita tahu, tentu saja proses itu terjalin melalui perkawinan tiga unsur: tayangan prime time, voyeurisme, iklan. Yang pertama menyangkut timing, yang kedua hasrat libidinal, dan ketiga tambang laba. Lugasnya, voyeurisme media adalah sebentuk "ekonomi libido".

Kedua, masalah konseptual yang terlibat dalam gejala itu mungkin bisa dimulai dari pertanyaan ini, "gagasan apa yang memungkinkan perluasan ekonomi libido itu?" Rupanya kuncinya terletak dalam sejarah perkembangan ilmu ekonomi sendiri.
Pergeseran-entah sebagai "kemajuan" atau "kemunduran"-dari ekonomi-politik klasik (Adam
Smith, David Ricardo) ke ekonomi neo-klasik (Karl Menger, Léon Walras, William Jevons) salah satunya menyangkut pergeseran konsep "nilai ekonomi" (value). Nilai ekonomi tidak lagi
diletakkan pada nilai-guna material (material use value), tetapi pada antisipasi kepuasan hasrat (desire).

Dengan itu, nilai-tukar ekonomi (exchange value) juga makin dilekatkan bukan pada materialitas kerja (labour), tetapi lebih pada penciptaan nilai tukar ranah psikologis yang terkait hasrat manusia (desire). Pergeseran ini punya implikasi amat luas, termasuk mundurnya ekonomi manufaktur dan berkibarnya ekonomi virtual.

Apa yang relevan bagi kita adalah proses berikut. Kawasan yang menyangkut hasrat manusia
menjadi target penciptaan nilai-tukar ekonomi. Karena sesuatu punya nilai-tukar ekonomi hanya jika tercipta kelangkaan (scarcity), ekonomi produksi berhadapan dengan dua pilihan:
mengurangi atau menaikkan kadar desire. Karena mengurangi sama dengan represi, intensifikasi
hasrat manusia menjadi sasaran proses ekonomi produksi. Produksi menjadi urusan penciptaan
desire. Maka nilai-surplus (surplus value) perlahan-lahan juga menjadi identik dengan penciptaan surplus hasrat (surplus desire) itu sendiri.

Itulah proses yang mengantar perebakan bisnis gaya hidup, hiburan, dan voyeurisme. Itu pula
proses yang kemudian makin merekatkan dua bidang yang kelihatannya berbeda: psikologi dan
ekonomi. Tatkala intensitas desire menjadi target ekonomi produksi, kawasan libidinal kita tentu saja juga terperangkap dalam pusaran kinerja sistem pasar. Salah satu wajahnya adalah
perebakan voyeurisme dalam bisnis media.

Apa relevansi pokok-pokok itu dengan kondisi media kita, yang salah satunya terpotret dalam
jajak-pendapat Kompas? Pertama, pendangkalan masyarakat tidak hanya dipicu oleh orgi
kekerasan, tetapi juga oleh orgi seduksi. Mungkin inilah pokok mendesak yang perlu diajukan
kepada banyak media kita.

Kedua, pengandaian bahwa media selalu mendorong proses demokrasi tampaknya merupakan
asumsi yang terlalu mulia. Jika demokrasi ala pemilu mengandaikan khalayak well- informed,
padahal semakin banyak media lebih sibuk dengan informasi voyeuristik, sebaiknya kita tidak
perlu heran bila Pemilu 2004 justru akan mengantar para badut, koruptor, preman, dan jagal
terpilih sebagai pejabat-pejabat Republik.

B Herry-Priyono Peneliti, Staf Pengajar Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta

Monday, October 09, 2006

Utang, Nasionalisme Kesiangan dan Kemerdekaan Sejati?


Munculnya krisis dalam hubungan antara Indonesia dan Australia ditanggapi berbeda oleh berbagai kalangan. Namun yang langsung menarik perhatian saya adalah tulisan Bapak Ikrar Nusa Bakti “Nasionalisme Kesiangan” disalah satu harian nasional (Kompas, 31 Maret 2006). Dalam tulisannya, beliau mengatakan bahwa bangsa Indonesia haruslah bercermin diri dan bahwa nasionalisme bukanlah jago-jagoan menunjukkan siapa yang dapat bersuara lantang kepada negara asing, bukan pula jagoan demonstrasi di depan kedutaan-kedutaan AS, Malaysia, Swedia atau Australia. Tetapi, sudahkah kita merasa senasib sepenanggungan dengan saudara-saudara kita di Papua? Nasionalisme kita seharusnya menunjukkan perhatian kepada nasib seluruh anak bangsa di negeri ini.

Saya sangat mendukung hal yang disebut belakangan namun hal tersebut menurut awam saya sangat berhubungan dengan hal yang pertama yaitu “bersuara lantang kepada asing”. Harus kita ingat bahwa jika secara internal satu negara cukup kuat maka negara tersebut tidak akan gampang diguncang oleh kekuatan dari luar. Pertanyaan, mengapa kita tidak bisa bersuara lantang kepada asing? Ini sebenarnya ditujukan kepada pemerintah.

Beberapa elemen masyarakat yang terorganisir maupun secara individu berkali-kali menyuarakan secara lantang penentangan terhadap kekuatan asing yang ingin mengekploitasi semua sumber daya dalam negeri namun mendapatkan tanggapan yang tidak sepantasnya dari pemerintah. Suara-suara lantang ini juga masih menjadi kekuatan minoritas dalam lembaga legislatif. Penyuaraan “suara lantang” ini harus secara terus menerus digalang oleh semua elemen masyarakat meskipun itu harus dilakukan di jalan-jalan ataupun di depan kedutaan besar negara “sahabat”. Cara bepikirnya seharusnya adalah dengan adanya penyuaraan penentangan dari masyarakat saja pemerintah masih “mau berbuat salah”, apalagi jika tidak ada sama sekali. Untuk hal ini, saya sangat setuju dengan Alm. Cak Nur dalam pidatonya “Kebebasan Demi Peradaban” (2003), beliau mengatakan “masyarakat demokratis cenderung ribut, tapi keributan dinilai pasti lebih baik daripada ketenangan karena kemandekan.”

Dalam krisis hubungan dengan Australia, kita harus sepakat dan memberikan dukungan penuh kepada pemerintah karena telah bersuara lantang kepada pemerintah Australia. Namun sayangnya dalam beberapa hal, yang justru lebih penting, ketika suara lantang pemerintah sangat diharapkan malah tidak terdengar sama sekali. Yang ada justru pembelaan kepentingan asing. Ambillah Blok Cepu yang sekarang telah dikuasai oleh Exxonmobil.

Pemerintah memberikan pernyataan bahwa keputusan di Blok Cepu adalah B to B atau business to business agreement. Disini terlihat ketidak-konsistenan pemerintah. Jika keputusan tersebut adalah B to B, yaitu antara Pertamina dan pihak Exxonmobil, maka seharusnya Pertamina tidak mendapatkan intervensi yang lebih jauh dari pemerintah. Namun kenyataannya adalah direktur Pertamina sebelumnya yang tidak setuju terhadap penyerahan operasional Blok Cepu ketangan Exxonmobil, justru diganti oleh pemerintah dengan direktur baru beberapa saat sebelum terealisasinya kesepakatan yang ada sekarang.

Kembali lagi, beberapa kalangan melihat krisis hubungan bilateral Indonesia-Australia sekarang ini dari kacamata dependency (baca=keterjajahan) negara kita kepada beberapa aktor utama dalam panggung internasional. Saya mengaitkan antara dependensi dengan keterjajahan karena kondisi aktual Indonesia sekarang menurut saya masih berada dalam keterjajahan dan jauh dari kemerdekaan sejati seperti yang diinginkan oleh founding fathers kita. Ini sangat bisa menjelaskan prilaku pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam negeri mengingat bagaimana keterkaitan langsung kondisi domestik dengan apa yang terjadi diluar negeri dibuktikan dengan beberapa kebijakan yang diambil pemerintah dengan mempertimbangkan faktor eksternal, misalnya kebijakan pencabutan subsidi BBM karena kenaikan harga minyak dunia. Untuk itu masih sangat relevan bagi kita untuk kembali mempertanyakan “apakah kita sudah merdeka atau belum? Atau mungkin, pernahkah kita merdeka?”

Kemerdekaan Sejati

Pada dasarnya pemahaman kita terhadap negara tercinta ini sangat tergantung pada proses sosialisasi sejarah dari generasi ke generasi. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kebanyakan dari kita berpikir bahwa kita telah merdeka dibuktikan dengan berhasilnya presiden Soekarno dan wakilnya Hatta memproklamirkan kemerdekaan negara Indonesia dari penjajahan Belanda. Kita taken for granted bahwa kemerdekaan telah kita capai dan tidak akan pernah lagi terambil oleh siapapun juga serta perjuangan atas nama kemerdekaan sudah tidak ada lagi. Proklamasi kemerdekaan hanya akan terjadi satu kali dan tidak akan pernah terulang lagi, karena itu kita sejatinya kita telah merdeka.

Argumentasi diatas tidak bisa kita terima begitu saja. Pertama, argumentasi diatas sebenarnya masih bisa dikejar lagi dengan pertanyaan apakah memproklamirkan kemerdekaan adalah esensi dari kemerdekaan itu sendiri? Jawabannya, belum tentu. Memproklamirkan adalah satu hal. Yaitu formal dan politis yang berbeda dengan substansi kemerdekaan itu sendiri. “Saya adalah kepala sekolah”, disini saya memproklamirkan diri, tapi apakah betul saya sejatinya adalah seorang kepala sekolah? Anda akan ragu untuk menjawab “ya.” Kedua, saya melihat bahwa merdeka adalah suatu proses untuk ‘menjadi’. Proses yang akan berlangsung secara terus menerus. Sekarang ini pun kita masih dalam proses tersebut.

Kasus Blok Cepu dan Freeport di Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan pola penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dulu. Pertama, Penjajahan Belanda, dan beberapa negara Eropa lain di negara-negara Asia dan Afrika, adalah upaya negara tersebut untuk menguasai sumberdaya alam (resources) yang ada di Indonesia. Kedua, keinginan untuk mendapatkan pekerja atau buruh yang murah sebagai syarat mendapatkan produk yang bersaing dari segi harga. Ketiga, adalah setelah mengeksploitasi kemudian menjadikan negara terjajah tersebut sebagai pasar. Jaman penjajahan Belanda dulu semua ini dimotori oleh satu Multi National Corporation (MNC) yang dikenal dengan VOC. Untuk konteks sekarang ini dilihat dari tiga hal disebutkan diatas, VOC telah berganti nama dengan Freeport dan Exxonmobil. Kemerdekaan sejati memang belum terwujud. Bahkan beberapa akademisi mempertanyakan kemerdekaan Indonesia dimasa-masa awal “kemerdekaan.”

Kita tahu bahwa proklamasi kemerdekaan dilakukan pada 17 Agustus 1945, tetapi Belanda pada waktu itu tidak menerima begitu saja yang kemudian terjadi Agresi I dan Agresi II. Indonesia baru mendapatkan pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Salah satu butir kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah “utang yang dibuat oleh pemerintah Belanda selama penjajahan, sebanyak 4 Miliar, diwariskan kepada pemerintah Indonesia”. Disini kita bisa mempertanyakan kemerdekaan kita karena kita sudah terikat utang dari dulu.
Pada tahun 1947 sebenarnya Pemerintah RI pada waktu telah mengajukan Blue Book yang berisi permintaan utang kepada negara maju. Pada tahun 1950 Indonesia diintervensi oleh Amerika Serikat (AS). Indonesia meminta utang sebesar 150 USD, namun uang ini bisa dicairkan dengan syarat pemerintah Indonesia harus mengakui pemerintahan di Vietnam Selatan, yang pada waktu perang Vietnam didukung oleh AS. Karena keinginan agar utang tersebut segera dicairkan maka Indonesia memenuhi syarat AS tersebut. Hal yang sama terulang lagi 2 tahun kemudian, 1952. AS lagi-lagi meminta Indonesia untuk mengembargo Cina dengan tidak mengekspor tekstil ke Cina dan juga mengakui pemerintah Korea Selatan yang didukung oleh AS pada perang Korea dan keputusan Indonesia yang berharap utang dicairkan sudah dapat kita tebak kemana pada saat itu (Baswir, 2006)

Utang dan Kolonialisme

Dari sedikit penggalan sejarah diatas dapat kita kenali bahwa utang adalah salah satu strategi bagi negara maju untuk melakukan kolonialisme model baru atau neo-kolonialisme. Disebut neo karena terdapat perbedaan gaya atau model dari penjajahan dulu. Jika dulu kita terjajah dengan keterlibatan militer secara aktif maka neo-kolonialisme adalah model penjajahan minus militer (Amien Rais, 2006).

Sejarah tentang utang yang paling dekat dengan kita sekarang ini adalah apa yang diceritakan oleh John Perkins dalam bukunya “the Confession of an Economic Hit Man” (2005). Perkins mengakui bahwa memang ada, bahkan sampai sekarang ini, orang-orang yang disebut sebagai economic hit man itu yang dikirim ke negara-negara berkembang untuk memberikan suatu rekomendasi kebijakan ekonomi yang didasarkan pada kalkulasi salah dan menyesatkan. Tujuannya adalah untuk menghancurkan perekonomian negara tersebut dan pada akhirnya tidak ada pilihan bagi negara tersebut untuk bangkit selain dengan berutang kepada negara maju.
Yang sangat menyita perhatian saya adalah bahwa Perkins juga pernah dikirim ke Indonesia dan beroperasi di Pulau Jawa. Entah berhubungan atau tidak, yang jelas Indonesia sekarang ini telah terjerat dengan utang.

Ketergantungan kita terhadap utang sangat jelas terlihat dalam APBN. Dalam RAPBN 2005 saja, jumlah utang mengambil porsi terbesar yaitu 25% jika dibandingkan dengan besaran jumlah belanja lain seperti belanja sosial 4%, subsidi 8%, belanja modal dan pegawai masing-masing 10% dan 14% (Nota Keuangan Diolah). Kondisi yang parah ini berujung pada ketergantungan akut kita terhadap utang dimana jumlah utang yang akan kita terima lebih kecil dibanding utang yang jatuh tempo atau harus segera dibayar. Kondisi ini tidak bisa tidak harus segera diubah karena akan semakin menjerumuskan kondisi kesejahteraan rakyat mengingat bahwa anggaran subsidi antara lain untuk pendidikan dan kesehatan dipotong demi untuk membayar utang tersebut.

Posisi ketergantungan ekonomi inilah yang dijadikan oleh negara-negara maju untuk mengintervensi Indonesia dalam pengambilan kebijakan luar negeri dan disisi lain menurunkan bargaining power Indonesia berhadapan dengan kekuatan asing. Kebijakan pemerintah Australia, yang dalam politik internasional cukup kuat dikarenakan oleh beberapa kedekatan dengan Inggris dan AS, dengan memberikan suaka disandarkan pada argumentasi-argumentasi yang sebenarnya tidak terlalu kuat (Hikmahanto, 2006). Hal ini hanya memperjelas bahwa Indonesia dimata Australia tidak lebih dari sekedar barang mainan yang dapat diperlakukan seenaknya saja, negara yang kata orang merdeka.

Agar Tidak Kesiangan?

Permasalahan sekarang ini sebenarnya telah diramalkan akan terjadi oleh founding fathers kita. Hatta telah mengingatkan kita akan bahaya superpower greeds dan harus terus waspada terhadapnya. Untuk itu tidak ada salahnya jika kita mencoba melihat kembali pemikiran-pemikiran yang telah ada dimasa awal “berdirinya” Indonesia. Seokarno telah memberikan rekomendasi strategi kepada kita agar bisa merdeka dan tidak lagi menjadi negara terjajah oleh kekuatan asing. Rekomendasi tersebut adalah pertama, agar kita berhenti menjadi suplier bahan mentah bagi negara-negara industri, kedua, berhenti menjadi pasar bagi negara industri dan ketiga, berhenti menjadi tempat memutar kapital asing.

Ketiga hal ini dapat kita jadikan sebagai salah satu alternatif pemikiran dasar bagi pemerintah dalam menetapkan suatu strategi dan kebijakan luar negeri dan harus mendapatkan dukungan dari masyarakat. Disini kritisisme masyarakat juga harus terus dijaga. Kita bisa meminjam tradisi pemikiran kritis masyarakat barat terhadap pemerintahnya dengan mengatakan bahwa “who is powerful, is a suspect” dan ini sah-sah saja bagi pemerintahnya. Sebagai salah satu prasyarat bagi akselerasi perubahan, gerakan sosial yang dilakukan oleh elemen masyarakat baik itu LSM maupun mahasiswa harus menjadikan masalah utang ini sebagai common issue.

Hal lainnya adalah, berubahnya mindset dari para kebanyakan politikus dengan menggeser kecenderungan politik demi kekuasaan semata kearah politik kesejahteraan masyarakat. Dengan begini, Dewan Perwakilan Rakyat tidak lagi menjadi “Dewan Perwakilan Pemerintah” dimana setiap keputusan politik DPR lebih banyak berposisi mendukung kebijakan pemerintah yang sebenarnya tidak aspiratif dan bahkan menentang keinginan rakyat. Pada akhirnya semua ini akan memudahkan para pembantu Presiden di luar negeri untuk memiliki kepercayaan diri dan posisi tawar yang cukup baik dalam melakukan diplomasi/negosiasi berhadapan dengan negara maju sekalipun. Semoga.

Muh. Ashry Sallatu
Mahasiswa Program Pasca Sarjana
Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
(Jumat, 31 Maret 2006)

kakatuadua?



this is my first time bikin-bikin blog. beberapa teman-teman menyarankan ke saya untuk juga ikut bikin blog, so...this is it.

Kakatua II No. 114 adalah alamat rumah saya di Makassar.
rumah yang sangat berkesan dihati. pasti. disana saya dibesarkan. masa kecil yang penuh dengan tawa, dan juga tidak jarang berisi air mata sedih.

di rumah itulah teman-teman saya datang, tinggal, dan pergi untuk menjalani takdirnya masing-masing. disana dan dimasa itulah saya ditunjukkan pelajaran yang sangat berarti...persaudaraan dan kekeluargaan.

waktu masih kecil dulu, rumah ini adalah surga bagi anak-anak umur 5-15 tahun. bagaimana tidak, rumah ini punya halaman yang luas dan menyediakan tanah yang sangat baik untuk bermain. mulai dari main kelereng, layang-layang, benteng-benteng, main boi, cangke, santo-santo. anak-anak dari kompleks lain pun tidak jarang menjadikan halaman rumah ini sebagai tempat "bertarung" favorite. semacam "melting pot" barangkali. tempat janjian "bertarung" yang paling masyur waktu itu. tinggal bilang "...kita main di rumahnya gego..." atau "...dimana anak-anak main? di rumahnya gego..." dan semua akan langsung bergegas berjalan kesana.

belakangan, sejak kuliah rumah ini menjadi tempat ngumpul teman-teman kuliah. orang-orang yang sangat berkesan bagi saya. tidak akan pernah saya lupakan satupun diantara mereka. mudah-mudahan. dari merekalah saya mengenal "kebenaran". satu lembaga mandul lahir di tempat ini. namanya Institute for Civic Education and Advocacy, biasa disingkat ICEA. diskusi demi diskusi sering dilakukan, kajian demi kajian. kadang diselingi dengan main bola sore.

telah banyak orang yang telah dibuatnya senang. telah banyak kejadian yang disaksikannya. telah banyak pelajaran yang didengarnya. seandainya rumah ini bisa bercerita, barangkali saya sudah menjadi "ahli" sejarah karena rumah ini konon dibuat pada zaman belanda. tidak lain karena arsitek bangunannya sama dengan rumah-rumah orang VOC yang biasa kita liat di film-film ato foto-foto sejarah.

rumah ini tak pernah mengeluh melayani sepenuh hati. tempat yang sangat nyaman karena atapnya yang tinggi. tidak ada yang tahu bagaimana nasib rumah ini nantinya. yah...serahkan pada yang mengatur hidup ini sajalah...

kuingin kau tetap ada maka kuhadirkan dirimu dalam bentuk dan ruang yang lain. disini.