Kakatuadua

rumah yang sekarang lebih banyak kamar dari orangnya ini masih kokoh berdiri dan selalu siap menerima tamu. menyediakan atap, berkarat tapi masih bertahan, demi menaungi manusianya. tempat yang saya sebut "terminal pengetahuan". setidaknya dulu begitu. banyak orang yang pernah datang mulai dari teman-teman bapak saya yang gemar berdiskusi, dan dilanjutkan oleh anak-anaknya dengan teman yang beragam. dengan satu keinginan sederhana; "memahami agar tidak hilang dalam arus sejarah". masuk ki,,,!

Friday, November 10, 2006

waktu hari bumi

Where there is injustice,
I always believe in fighting
The question is…do you fight to change
Or do you fight to punish?
(Mahatma Gandhi)




Pagi ini tanggal 22 April 2006 saya ikut aksi Walhi yang merayakan hari bumi internasional. Isunya sudah pasti tentang kepunahan lingkungan alam karena dibiarkannya perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan eksploitasi alam demi untuk keuntungan ekonomi. Aksi dilakukan di depan istana Presiden kemudian di lanjutkan dengan long-march ke Bundaran HI. Beberapa organisasi masyarakat dan mahasiswa tergabung dalam aksi tersebut dengan menamakan diri “Aliansi Penyelamat Bumi”.

Semangat orang-orang yang ikut dalam aksi tersebut sangat terasa bagi kita yang berada disitu. Orasi dilakukan oleh kordinator lapangan dari Walhi dan dilanjutkan secara berturut-turut dari masyarakat biasa (desa dan miskin kota) yang dengan mendengarnya bicara bisa diduga sampai dimana tingkat pendidikannya, tetapi dengan sangat lancar dan lantang menyuarakan perlawanannya terhadap penindasan yang dilakukan oleh negara dan pengusaha yang mengagungkan “libidonomics”-nya. Pada saat itu malu rasanya sebagai seorang kandidat master di perguruan ternama di Indonesia tetapi tidak mengetahui apalagi merasakan penindasan yang nyata-nyata terjadi terhadap masyarakat miskin mayoritas di negeri ini. Memang lebih enak “ber-onani”.

Salah satu pekerjaan utama pemerintah berubah ke arah penjaminan suatu lingkungan yang mendukung untuk pengembangan bisnis, dan ranah yang mampu menyedot aliran modal bisnis. Peranan negara-bangsa kini lebih banyak bergeser menjadi semata-mata menyediakan barang-barang dan infrastruktur publik yang dibutuhkan oleh kehidupan bisnis dengan ongkos semurah-murahnya sambil melindungi sistem perdagangan bebas dunia (Noreena Hertz)
Para peserta aksi tidak hanya terbakar semangat anti penindasan tetapi dengan sangat jelas dan gamblang memberikan gambaran detail mengenai bagaimana bumi tempat kita tinggal sekarang ini tidak diperlakukan dengan semestinya. Bumi menangis tanpa sempat kita dengar tangisannya karena kehidupan sudah kita ciptakan menjadi sangat cepat dan bising. Di beberapa tempat, kita justru tidak bisa lagi mendengar teriakan kita sendiri. Dunia menjadi serba “hyper”.

Perasaan saya seolah bercampur baur; sedih, senang, ngeri, bingung, heran ketika seorang perempuan membacakan puisi bagaimana bumi kita menuju kehancuran total. Semua karena kita sendiri yang mau membebaskan hasrat para pemodal besar menjajah bumi ini, kemudian menjualnya ke kita.

Betulkah bumi ini milik mereka? Siapa yang memberi mereka hak mengklaim bumi ini untuk kemudian mengatakan kepada kita “jika mau menikmatinya, bayar dulu”? mampukah mayoritas rakyat Indonesia membelinya? Kita sudah bukan lagi warganegara, kita tidak lebih dari sekedar konsumen atas bumi kita sendiri. Rumah kita telah dirampok atas nama kebebasan. Semangat saya menjadi terbakar melihat banyaknya peserta aksi pagi ini.

Tetapi, saya merasa semangat saya sempat “tercemari”. Ketika sampai di bundaran HI, sekelompok massa yang jumlahnya beratus kali lipat dari jumlah aliansi kami melakukan aksi penolakan terhadap RUU APP. Tidak hanya dari segi jumlah massa tetapi juga dilengkapi dengan “tools” yang sangat baik. Panggung rakyat, artis-artis ibukota ternama, pameran adat lengkap dengan badut dan atribut adat lainnya dari Aceh sampai Papua.

Di satu sisi saya sangat bangga dengan kondisi saat itu. Ada dua hal. Pertama, makin banyak orang yang sadar akan haknya sebagai warga negara dengan mau turun ke jalan melawan ketidakadilan. Kedua, yang tidak kalah pentingnya, dengan banyaknya jumlah massa yang menolak RUU APP tersebut, ternyata aksi ini juga “dikawal” dengan sejumlah kecil orang, berjalan disamping pawai massa tersebut sambil membagi-bagikan selebaran kepada masyarakat sekitar yang isinya mendukung RUU APP. Dari seragam orang-orang tersebut, dapat dipastikan dari kalangan agama tertentu. Bangga melihat itu semua. Mungkin inilah demokrasi.

Tapi disisi lain sangat susah mempertahankan rasa bangga itu agak lama. Setelah melihat mereka, ternyata jumlah kami yang merayakan hari bumi sangat kecil. Muncul pertanyaan dalam hati saya; tahukah mereka semua bahwa bumi tempat mereka berpijak, dan menari-nari, sekarang sedang sekarat? Tahukah mereka jika bumi ini hancur maka mereka akan ikut hancur pula? Tahukah mereka bahwa suatu saat nanti, mereka akan berteriak “Tolak RUU APP!” atau “Dukung RUU APP!” diselingi dengan batuk-batuk dalam setiap teriakan mereka?

Tapi sudahlah...toh mereka juga punya kesamaan dengan kita; perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan dan keyakinan bahwa ‘a better world is possible’

22 April 2006, 23.30

0 Comments:

Post a Comment

<< Home